Pada
tahun 1953, untuk pertama kalinya dimunculkan keinginan masyarakat
Banten untuk meningkatkan status wilayahnya dari Karesidenan menjadi
provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan ini muncul
berkaitan dengan diberikannya status Daerah Istimewa Yogyakarta dan
munculnya tuntutan yang sama dari Aceh. Masyarakat Banten merasa bahwa
Banten juga memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada
Belanda, pernah berdiri sendiri karena diblokade Belanda sampai
mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun 1949 ( Michrob dan Chudari,
1993 : 284). Hanya saja keinginan ini tidak dapat tanggapan serius.
Dengan
diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dan dibentuknya pemerintah dan
parlemen baru di tingkat pusat, kehidupan politik di Jawa Barat pun
disesuaikan dengan kehidupan politik di tingkat pusat Dalam bidang
pemerintahan, dibentuk lembaga pemerintahan baru yang sisesuaikan dengan
konsep Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, di Jawa Barat dikenal dua
macam pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat
kabupaten/ kotamadya . Kedua macam pemerintahan daerah itu adalah
Pemerintahan Daerah Gaya Baru dan Pemerintahan daerah Gotong Royong (
Pikiran Rakjat, 28 Maret 1960).
Pemerintahan Daerah Gaya Baru
dibentuk atas dasar Penpres No.6 tahun 1959 yang berlangsung dari
tanggal 20 Oktober 1959 sampai tanggal 10 Desember 1960. Pemerintahan
Daerah ini tersususn atas badan eksekutif dan legislatif. Badan
eksekutif terdiri dari gubernur yang di bantu oleh Badan Pemerintah
Harian (BPH). Menurut ketentuannya, gubernur dibantu olrh enam orang
anggota BPH, tetapi sampai akhir Pemerintahan Daerah gaya Baru anggota
BHP hanya tiga orang, yaitu satu orang wakil dari Partai Komunis
Indonesia (PKI), satu orang wakil dari Nahdlatul Ulama (NU), dan satu
orang wakil dari Murba. Dua orang wakil dari Masyumi dan satu orang
wakil dari PNI menolak untuk diangkat sebagai anggota BPH karena mereka
tidak dapat melepaskan keanggotaan dari partainya masing-masing.
Disamping itu, selain sebagai kepala derah, gubernur juga bertindak
sebagai Ketua Badan Legislatif (Ketua DPRD Gaya baru) . DPRD gaya Baru
beranggotakan 75 orangt yang tersusun dari partai-partai politik dan
golongan fungsional (Suwardi dan Djayasoempena,1965:14-15).
Setelah
pembentukan DPR Gotong royong di tingkat pusat, di Jawa Barat pun
terjadi perubahan dalam pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah Gaya
Baru diganti dengan Pemerintahan daerah Gotong-Royong dibentuk atas
dasar Penpres No.5 tahun 1960. Bentuk pemerintahan tersebut berlangsung
sejak tanggal 10 Desember 1960 dan tersusun atas Badan Eksekutif dan
Badan Legislatif. Badan Eksekutif terdiri atas Gubernur dengan dibantu
oleh Anggota Badan Pemerintahan harian (BPH). Badan Legislatif adalah
DPRD Gotong Royong dengan Gubernur sebagai Ketua. Berdasarkan ketentuan,
DPRD Gotong Royong terdiri dari 75 kursi, namun tiga kursi tidak diisi
karena partai-partai politik yang akan memduduki tiga kursi tidak diakui
oleh pemerintah, sehingga jumlahnya hanya 72 orang. Ketiga partai
politik yang kemudian tidak diakui oleh pemerintah itu adalah PRIM, PRN,
dan Partai Buruh. Komposisi anggota DPRD Gotong Royong terdiri dari
wakil partai politik dan wakil golongan karya (Suwandi dan
Djajasoempoena,1965:15-16).
Pada tahun 1963, Bupati Serang Gogo
sandjadirdja, mengadakan acara halal bilhalal dengan tokoh-tokoh
masyarakat Banten di Pendopo Kabupaten Serang. tokoh-tokoh yang datang
bukan hanya dari Banten, tetapi juga dari daerah Jasinga-Bogor. Setelah
acara halal-bilhalal usai, dilanjutkan dengan rapat. Dalam rapat itulah
untuk pertama kalinya dicetuskan gagasan tentang perlunya keresidenan
Banten menjadi propinsi sendiri. Gagasan itu kemudian diwujudkan dengan
membentuk panitia "Pembentukan Propinsi Banten (PPB). Panitia ini
diketuai oleh Bupati Serang sendiri dengan pengurus yang mewakili
partai-partai yang ada. Pada mulanya, unsur partai Komunis Indonesia
(PKI) tidak bersedia ikut, tetapi karena poros nasakom (Nasional, agama,
komunis) dijadikan acuan politik nasional, Panitia Propinsi Banten
menawarkan unsur PKI untuk dduduk dalam kepanitiaan. Akhirnya terbentuk
Panitia Propinsi Banten dengan susunan sebagai berikut :
Ketua:
Gogo Sandjadirdja (PSII), Wakil Ketua: Ayip Djuhri (NU/Front Nasional),
Entol masyur (PNI/Front Nasional), Sukra (PKI/Front Nasional). Anggota:
M. Sanusi (PSII/Front Nasional), Toha (PKI/Anggota DPR-GR Serang), Tb.
Suhari Chatib (PSII) .
(Qorny dalam Mansur, 2001:88).
Panitia
ini kemudian mengadakan rapat akbar di Alun-alun Serang, ternyata
gagasan untuk membentuk Propinsi Banten mendapat sambutan luar biasa
dari masyarakat.Hal itu dapat dipahami karena pada waktu itu posisi
politisi sipil masih kuat, maka dalam waktu yang relatif singkat gerakan
ini secara horisontal mendapat dukungan luas baik dari kalangan ormas,
dan juga dukungan vertikal dari kalangan eksekutif dan legislatif
se-wilayah Banten.
Pada tahun 1964, panitia ini menemui Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Mendagri
menyatakan bahwa masyarakat Banten tidak perlu menuntut agar Banten
menjadi Propinsi karena sudah ada pemikiran dari Pemerintah Pusat yang
ingin memeberikan sesuatu kepada rakyat Banten. Pemerintah Pusat merasa
berhutang budi pada rakyat Banten yang telah berjasa bukan saja pada
tahun 1945 tetapi sebelumnya Banten telah bergerak menentang penjajah
Belanda. Hanya, menurut Mendagri perlu sabar menunggu kesepakatan dengan
DCI (Daerah Chusus Ibukota) Jakarta yang merencanakan perluasan hingga
Kabupaten Tangerang (Qorny dalam Mansur 2001:88).
Gentur Mu'min,
mantan wartawan Harian Duta Masyarakat yang terbit di Jakarta antara
tahun 1964-1971, menceritakan bahwa sebenarnya pada tahun 1965 itu
Banten "hampir resmi menjadi Propinsi". Namun, karena terhjadi peristiwa
G-30-S, hal itu tidak terlaksana. Ia menjelaskan bahwa panitia Propinsi
banten telah mengadakan pertemuan dengan tim DPR-GR-RI, yang tidak
dingta lagi oleh sumber tersebut tanggal dan harinya, hanya disebutkan
pertemuan itu terjadi tahun 1965, bertempat di rumah H. Tb. Kaking
(bendahara Panitia Propinsi Banten). Hadir dalam pertemuan tersebut
adalah H. M. Gogo Rafiudin Sandjadirdja (Bupati Serang saati itu), H.
Ayip Dzuhri (Anggota DPR-GR RI), dan beberapa tokoh masyarakat Banten,
yang datang dari Jakarta dan Bandung. selanjutnya tim dari DPR- GR- RI
itu ber-kunjung ke Jambi, Bengkulu, dan Lampung, yang sama seperti
Banten, ingin memisahkan diri dari Propinsi induknya untuk menjadi
Propinsi sendiri. Selanjutnya wartawan yang sudah sepuh itu, menjelaskan
bahwa Mendagri Mayjen Sumarno sudah menyiapkan RUU Propinsi unruk
daerah yang ingin menjadi Propinsi sendiri tersebut dan telah masuk ke
DPR-GR-RI. Menurut H. Gentur Mu'min itu, berarti tidak lama lagi tempat
daerah itu akan menjadi Propinsi sendiri (Mansur, 2001:101-102).
Perkembangan
gerakan yang tampaknya bakal berhasil itu dilihat oleh PKI sebagai
peluang. DN. Aidit sebagai Ketua CC.PKI segera membentuk CDB (Central
Distric Buerau). Organ setingkat Propinsi CDB PKI Propinsi Banten
pimpinan Dachlan Rifa'i yang belakangan membentuk Dewan Revolusi Banten
(Pola PKI). Namun, roda sejarah berbicara lain. Maksud DN. Aidiit tidak
kesampaian di Banten, karena kemudian meletus peristiwa G-30-S. Markas
CDB PKI pun hancur diamuk massa KAPPI dan KAMMI Konsulat Serang
(keterangan H.Gentur Mu'min dalam Mansur, 2001:103).
Pasca
pembubabara PKI, Soeharto kemudian berupaya menata langkah-langkah lain
yang memungkinkan tecapainya secara optimal "pasal-pasal" Tritura (Tri
Tuntutan Rakyat) serta tugas yang terkandung dalam Supersemar. Untuk
itu, Soeharto kemudian melakukan aksi pembersihan terhadap orang-orang
yang selama ini diduga terlibat atau mendukung G30SPKI, khusus-nya
mereka yang ada di dalam Birokrasi Pemerintahan baik sispil maupun
militer (Pusponegoero dan Notosusanto, 19939:414). Panitia Pembentukan
Propinsi Banten yang telah dibentuk sejak tahun 1963, tidak luput dari
usaha membersihkan dari dari Komunis. Maka unsur-unsur PKI pun
dibubarkan dari panitia. Namun pihak yang berwenang agaknya tetap
menaruh kecurigaan bahwa panitia telah ditunggangi PKI. Tuduhan itu
tentu saja membuat panitia goyah, apalagi Pemerintah Pusat melalui
Kop-Kamtib dan Laksus-nya berusaha melakukan pembersihan terus menerus.
Oleh karena itu, panitia memilih untuk tidak aktif sementara. Meskipun
demikian, panitia menyatakan secara tegas bahwa tidak benar panitia
ditunggangi PKI dan menganggap bahwa hal itu merupakan fitnah yang
sengaja ditiup-tiupkan oleh pihak-pihak yang tidak senang atas kemajuan
Banten (H. Gentur Mu'min dalam Masnsur, 2001:102-103).
Untuk
menggalang kekuatan baru, panitia mulai melibatkan aktifis angkatan 66
di Jakarta dan Bandung yang berasal dari Banten. Kodam Siliwangi
mencermati gerakan ini secara serius karena khawatir pembentukan
Propinsi Banten akan dimanfaatkan oleh sisa-sisa PKI. Sekretaris Panitia
Propinsi Banten, H. Rahmatullah Sidik menceritakan bahwa ia bersama
Tubagus Kaking (Bendahara Panitia Propinsi Banten) selalu mendapat
pengawasan ketat dari Kodim VI Siliwangi. Bahkan setelah itu, tidak
sembarang orang mau menceritakan tentang rencana pembentukan Propinsi
Banten karena merasa takut oleh aparat (Qorny, dalam Mansur, 2001:89;
keterangan H. Rahmatullah Sidik, dalam Masur, 2001:104)
Untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pada tahun 1966 Mayor
Jenderal Ibrahim Adjie, Pangdam Siliwangi, meresmikan Korem 064/Maulana
Yusuf dengan misinya antara lain membendung gerakan Propinsi Banten.
Gerakan pertama yang diagendakan Korem Maulana Yusuf adalah Operasi
Bhakti Siliwangi secara besar-besaran yang ditingkat Kodam wakil
Panglima Operasinya adalah Brigjen Priatna, orang Rangkasbitung yang
pernah menjadi komandan kontingen Garuda II di Congo-Afrika (Qorny,
dalam Mansur (Qorny dalam Mansur, 2001:102-103).
Operasi Bhakti
Siliwangi Korem Banten dilaksanakan di bawah Danrem Kolonel Senior Anwar
Padmawijaya. Tokoh inilah yang menjadi Danrem pertama dan yang terlama
membangun infrastruktur perekonomian Banten, sepeti membangun Gedung
Pertemuan Umum Serang, merehabilitasi Pelabuhan Karangantu, merenovasi
Mesjid Agung Banten, dan juga melakukan pembangunan Gedung IAIN Sunan
Gunung Djati cabang Serang (kini STAIN Maulana Hasanudin), Bendungan
Cicurug Malingping, Pemandian Batu Kuwung, dan lain-lainnya (Qorny dalam
Mansur, 2001:89).
Misi Kolonel Anwar berhasil berkat dukungan
Pemda Kabupaten (Serang, Pandeglang dan Lebak). dengan usaha ini
diharapkan tercipta suatu opini publik bahwa masalah pembentukan
Propinsi bukan soal yang urgent. Sekalpipun operasi terus berlanjut,
namun tidak mengurangi semangat dan tekad para penggerak Propinsi
Banten. Tercatat panitia berhasil mengundang tim peninjau lapangan dari
DPRD-GR Tk.I Jabar pimpinan Kastura, tokoh operasi Jabar yang berasal
dari Banten Kidul dan komisi B DPRD-GR pimpinan Brigjen (Pol). Domo
Pranoto untuk mengadakan dialog dengan segenap tokoh politisi, tokoh
masyarakat, ormas, dan pemuda (angkatan 66) Banten (Qorny dalam Mansur,
2001:89).
Panitia Propinsi Banten pada tanggal 21 April 1967,
merumuskan "Kebupalatan Tekad Panitia Propinsi Banten". Isinya diawali
dengan muqaddimah yang berisi landasan Idiil dan Landasan hukum untuk
berdirinya Propinsi Banten. Selanjutnya dikemukakan dua syarat untuk
menjadi Propinsi yaitu syarat subjektif yakni hasrat atau kemauan rakyat
Banten untuk menjadikan daerahnya sebagai Propinsi dan syarat objektif
yaitu adanya Suber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebuah Propinsi. Dalam
surat kebulatan tekad itu, diuraikan tentang SDA dan SDM yang dimiliki
Banten. Menyangkut SDA, dijelaskan bahwa hasil pertanian berupa padi dan
palawija memadai dan bisa menjadi surplus apabila diterapkan teknologi
tepat guna, diBanten juga ada perkebunan karet, kelapa, cengkeh, lada,
panilli, melinjo (Banten daerah penghasil emping yang penting), dan
buah-buahan). Perikanan laut juga sangat signifikan karena 75 % daerah
Banten dikelilingi laut. SDA yang juga menjanjikan ialah pertambangan,
berupa tambang emas di CIkotok, bijih besi di Cikurut, bahan semen di
Anyer, belerang di Walantaka dan Padarincang, bahan Mika di Bojong,
intan di Cibaliung, batubara di Gunung Kencana, Gunung Madur dan
lain-lain.Selain itu, Banten juga memiliki aset pariwisata, pantai yang
indah, cagar alam Ujung Kulon dan peninggalan sejarah dan kebudayaan
yang eprnah mengalami kejayaan pada masa lalu.
Direncanakan pula
bahwa Propinsi Banten nanti akan terdiri atas 7 Kabupaten yaitu, Serang,
Pandeglang, Lebak, Ujung Kulon, Cilangkahan, Tangerang dan Jasinga.
Serta 2 Kota Praja yaitu Kota Praja Banten dan Kota Praja Cilegon dengan
jumlah penduduk pada tahun 1967 sekitar empat juta orang (isi
"Kebualtan Tekad seutuhnya dapat dibaca dalam Mansur, 2001:107-114).
Dipihak
lain, Kodim Siliwangi melakukan tindakan represif, dengan melakukan
penahanan dan pemeriksaan terhadap beberapa orang aktivis Propinsi
Banten pada tahun 1967. Mereka adalah Moch. Sanusi, tokoh PSII yang
jabatannya sebagai Ketua DPRD-GR Tk.II Serang, Tb. Kaking (Pejuang 45
yang sukses dalam bisnis beras serta Rachmatullah Sidik, Pendidik
Aktivis Sekber Golkar Serang.
Penahanan Moch. Sanusi dilakukan
dalam kaitan dengan saudara sepupunya yaitu Ajun Komisaris Polisi Atje
Chutbi (BPH Kabupaten Serang) yang diduga terlibat dalam Dewan Revolusi
(Pola PKI) Banten. Kebetulan pula, puteranya yang bernama Chutbi maupun
Cholid bukan termasuk pengurus atau aktivis Propinsi Banten. Secara
berlebihan, Pangdam Siliwangi, Mayjen H.R. Dharsono membuat pernyataaan
yang dikutip harian Pikiran Rakyat yang intinya menuding gerakan ini
sebagai pola PKI (isis surat kepada DPR-GR-RI dan RUU Propinsi Banten
dapat dibaca dalam Mansur, 2001:116-121).
Uwes Qorny, menyatakan
bahwa pada tahun 1968, ketika ia menjadi pimpinan KAPPI daerah jawa
Barat merencanakan akan menyelenggarakan rapat pimpinan KAPPI se-Jawa
Barat di Serang. Ia didatangi 3 orang utusan KAPPI Pusat yang terdiri
dari unsur IPNU (Partai NU), IPM (Muhamadiyah), SEPMI (PSII). Mereka
menanyakan tentang acara rapat apakah akan membahas issue Propinsi
Banten. Pertanyaan itu mengundang keheranan di benak Uwes, mengingat
masalah Provinsi Banten tidak terpikirkan untuk dibawa ke dalam rapat
KAPPI yang berskala nasional sehingga ia balik bertanya kepada para
utusan itu apa latar belakang pertanyaan itu. Mereka membuka kartu,
bahwa mereka membawa pesan Brigjen Ali Moertopo, Aspri (Asisten Pribadi)
Politik Presiden Soeharto, yang sangat berpengaruh serta Komandan Opsus
(Operasi Khusus). Secara persuasif Brigjen Ali Moertopo menyampaikan
pesan Ali Moertopo kepada Uwes agar KAPPI Jabar tidak membahas Provinsi
Banten demi keutuhan KAPPI dan tidak memecah belah KAPPI Banten dan
KAPPI Priangan. Kemudian pada tahun 1970, Gubernur Jabar melalui Kepala
DIrektorat Khusus Propinsi Jawa Barat Kolonel Abdullah Prawirakusumah
bersama para tokoh masyarakat dan mahasiswa Banten di Bandung melakukan
penggalangan pendekatan dengan segenap komponen di Banten (isi surat
kepada DPR-GR-RI dan RUU Provinsi Banten dapat dibaca dalam Mansur,
2001:90).
Sementara itu Ali Moertopo mengirim Muhamad Danu Hasan,
mantan Panglima DI/TII Jabar yang digunakan Opsus. Dengan demikian
telah berlangsung Operasi Penggalangan Bersama yang dilakukan oleh Pusat
dan Gubernur Jawa Barat untuk mencari titik temu antara dua keinginan
yang berbeda dalam amsalah Provinsi Banten (isi surat kepada DPR-GR-RI
dan RUU Provinsi Banten dapat dibaca dalam Mansur, 2001:90).
Tim
Kolonel Abdullah berhasil membuat semacam konsensus dengan rakyat Banten
melalui keputusan DPRD-GR se-wilayah Banten yang menandaskan bahwa
secara substanstif tuntutan Propvinsi Banten merupakan hak dan asiprasi
rakyat namun waktunya dianggap belum tepat. Meskipun hal ini dianggap
menutup harapan untuk terwujudnya Provinsi Banten, pada tanggal 24
Agustus 1970, 27 anggota DPR-GR dengan juru bicara Bustaman,SH,
mengajukan usul inisiatif membuat RUU pembentukan Provinsi Banten (isi
surat kepada DPR-GR-RI dan RUU Provinsi Banten dapat dibaca dalam
Mansur, 2001:91).
Usul itu tidak sempat disidangkan karena
banyaknya hambatan antara lain Gubernur Solichin.GP. tidak siap melepas
Banten dan Pemerintah Pusat tidak memberikan lampu hijau. Sementara itu
rekomendasi DPR-GR-RI tk.I Jawa Barat menyerahkan sepenuhnya kepada
Pusat.
Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 1970 diadakan Sidang
Pleno Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mensyahkan Presidium
Panitia Pusat Provinsi Banten, duduk sebagai Ketua Penasihat Tb.
Bachtiar Rifa'i, dengan Ketua Ayip Abdurachman an Sekretaris Achmad
Nurjani. Duduk pula sebagai anggota : Uwes Qorny, yang 30 tahun kemudian
kembali menggelar keinginan masyarakat Banten untuk mendirikan Provinsi
sendiri. Selain itu, ada juga Ekky Syahrudin, Hasan Alaydrus, yang juga
ikut andil dalam era reformasi nanti (Supandri, 2002:32-33).
Ada
satu hal yang membanggakan masyarakat Banten pada tahun 1970 ini,
Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Kepres
No.45/TK/1970. Yang tidak menggemberikan DPR-GR hasil Pemilu 1971
ternyata tidak mengagendakan RUU Porvinsi Banten. Setelah itu,
masyarakat Banten terpaksan berdiam diri sepanjang sisa masa Orde Baru.
memang ada satu atau dua kali aksi mahasiswa Banten di Bandung yang
berunjuk rasa tetapi tidak memberikan gaung yang diharapkan.
Dengan
pendekatan keamanan yang dikendalikan dari Bina Graha mampu menjaga
sifat kenegaraan yang patrimonialistis. Hingga tiba-tiba saja 26 tahun
kemudian ketika kekuasaan Orde Baru mulai goyah pada bulan Agustus 1997,
Uwes Qorny diwawancara oleh Lukman Hakim dari Harian Merdeka tentang
perlunya dibentuk Provinsi Banten. Dalam berita berjudul "Uwes Qorny:
saatnya Banten menjadi Provinsi ke-28" diungkapkan bahwa Pemerintah
Banten menjadi Provinsi ke-28 adalah hak rakyat dan merupakan aspirasi
dinamis yang legal diungkapkan pula secara kronologis tentang gagasan
untuk membentuk Provinsi Banten. Dengan munculnya berita ini, masyarakat
Banten seakan dibangunkan dari tidurnya (Qorny dalam Mansur, 2001:94).
Ketika
Soeharto terpilih kembali menjadi dalam Sidang Umum (SU) MPR pada bulan
Maret 1998 muncul reaksi negatif dari berbagai kalangan khususnya
kekuatan-kekuatan infrastruktur politik yang menginginkan adanya
perubahan Pimpinan Nasional, reaksi semakin keras ketika Presiden
Soeharto mengumumkan susunan Kabinet pada tanggal 14 Maret 1998.
Berbagai komentar bermunculan atas sususna Kabinet yang dipandang sarat
dengan nuansa Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam Kabinet
tersebut tidak hanya tampak kroni-kroni Soeharto, tetapi tampak salah
seorang putri Soeharto Siti Hardiyanti Rukmana, yang dipercaya menduduki
kursi Menteri Sosial.
Rakyat seperti benar-benar kehilangan
kepercayaan terhadap pemerintah. Harapan untuk memperoleh pemerintahan
yang bersih dan diharapkan mampu membawa bangsa dan negara keluar dari
berbagai krisis yang terjadi seakan menjadi sirna dengan tampilnya
Kabinet yang sarat KKN. Merasa pemerintahan baru yang tadinya diharapkan
dapat mengatasi krisis sudah tidak dapat diharapkan lagi, rakyat apda
akhirnya semakin terdorong untuk mengambil cara sendiri-sendiri dalam
mengatasi kekecewaan.
Upaya terakhir Presiden Soeharto guna
mengembalikan kepercayaan rakyat dengan melakukan upaya penyelamatan
melalui reshuffle Kabinet gagal, para calon Menteri yang diminta
dudukpun sudah tidak berminat mendudukinya lagi. Akhirnya pada tanggal
21 Mei 1998 Presiden Soeharto meletakan jabatannya dan Wakil Presiden
Habibie pun disumpah sebagai Presiden baru.
Dengan berakhirnya
Orde Baru yang cenderung represif, kini masyarakat seakan menghidup
udara segar demokrasi. Namun demikian, manuver politik Habibie lewat
Kabinetnya ini bisa kurang mendapatkan respons positif dari masyarakat.
Akan tetapi, untuk menjawab tuntutan masyarakat Habibie mengeluarkan
kebijakan berupa perangkat perundangan, pembebasan para tahanan politik,
pembukaan kebebasan pers, kebebasan mendirikan Partai Politik dan
pembaruan hukum, dan hak asasi manusia. Dibidang ekonomi, Habibie pun
berupaya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menurunkan tingkat
inflasi, melaksanakan pemulihan ketersediaan keterjangkauan ekonomi,
pengembangan ekonomi kerakyatan, restrukturisasi Perbankan, dan
perbaikan kurs rupiah. Kebijakan pembebasan tahanan politik sedidkit
banyaknya mengangkat citra pemerintahan Habibie sebagai pemerintahan
yang menjunjung tinggi nilai-niali demokratis. Dukungan atas kebijakan
ini tidak hanya datang dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
Manuver
Habibie mengadakan berbagai perubahan politik untuk mendogkrak simpati
rakyat terhadap pemerintahannya lambat lau melahirkan harapan positif
rakyat terhadap eksistensi pemerintah yang dipimpin Habibie. Inilah
peluang baru bagi masyarakat Banten untuk merealisasikan keinginan yang
lama terpendam.
Sehari setelah Presiden Soeharto lengser, ribuan
masyarakat Banten yang dipimpin oleh H. Embay Mulya syarif dan sejumlah
tokoh muda Banten mendatangi Senayan untuk menyatakan dukungan kepada
B.J. Habibie. Ketika dilakukan Sidang Istimewa pada tanggal 10 November
1998, pemerintah memutuskan diadakannya (Pengamanan Swakarsa) untuk
mengamankan jalannya Sidang. Sekali lagi, rombongan warga Banten datang
untuk ikut menjadi Pam Swakarsa (Mansur, 2001:124).
Pada awal
tahun 1999, Presiden BJ. Habibie merencanakan kunjungan kerja ke Banten
pada akhir bulan Januari 1999, H. Embay Mulya Syarif dengan disertai
beberapa Kyai dan beberapa tokohnya dipanggil ke Istana Presiden dalam
rangka persiapan kunjungan ini. Sebagaimana direncanakan pada hari
Jum'at 5 Februari 1998 Presiden Habibie berkunjung ke Banten. Tempat
pertemuan yang dipilih adalah Pondok Pesantren Daul Iman Pandeglang yang
dipimpin K.H. Aminuddin Ibrahim . Sesuai dengan skenario yang dirancang
Gubernur Jawa Barat dan para Menteri yang datang yaitu Mensesneg Akbar
Tandjung, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menteri Agama Malik
Fajar, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Mengengah Adi Sasono.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Iman K.H. Aminudin Ibrahim mengusulkan
agar wilayah eks Keresidenan banten ditingkatkan menjadi Provinsi
Banten. Dalam kesempatan itu, Presiden BJ. Habibietidak menolak usulan
itu, hanya menyatakan bahwa usulan itu harus melalui mekanisme
konstitusional. Usul serupa diajukna oleh K.H. Mansur Muchjidin dalam
acara dialog Presiden BJ. Habibie dalam kunjungan itu sama seperti
ketika di Pandeglang (Mansur, 2001:127).
Masyarakat Banten merasa
mendapat angin segar dengan respon Presiden RI ke-3 itu. Hal itu
diberitakan di berbagai media cetak di Banten dan media elektronik.
Surat kabar mingguan Banten Express, memuat berbagai berita tentang
kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan rencana pembentukan Provinsi
Banten, juga artikel-artikel yang mendukung rencana itu. Keinginan
masyarakat Banten untuk mewujudkan Provinsi Banten,ternyata benar
dimanfaatkan benar oleh partai-partai yang sedang berkampanye menjelang
Pemilu. Misalnya saja Partai MKGR, dalam kampanye di Pandeglang
jelas-jelas menyatakan sangat mendukung keinginan masyarakat Banten
tersebut. Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga melakukan kampanye di
Pandeglang, menyatakan hal yang sama. Bahkan Partai Amanat Nasional
(PAN) berani berkampanye : "PAN menang, Provinsi Banten jadi !" (Mansur,
2001:130 ; wawancara dengan Indra Abidin, 20 Agustus 2003).
Pada
awal tahun 1999, dengan mengambil tempat di Kampung Gardu Tanjak,
Pandeglang, diselenggarakan hala-bilhalal Yayasan Sumur Tujuh dan reuni
para mantan siswa SMP Pandeglang. Dalam kesempatan itu, Ekky Syahruddin,
berbicara soal reformasi. Ia antara lain menganjurkan agar masyarakat
Banten memanfaatkan peluang reformasi, untuk membuka kembali wacana
pembentukan Provinsi Banten. Pertemuan semacam itu juga dilakukan di SMA
Alalnys Kimia di Serang dan ternyatta pertemua itu selangkah lebih
maju. Peserta pertemuan merencanakan unjuk rasa ke DPR di Jakarta.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, dengan menggunakan liam buah bus
para pemuda Banten berangkat ke DPR di Jakarta untuk menyampaikan
aspirasi pembentukan Provinsi Banten. Hanya saja karena tidak terencana
dengan matang, unjuk rasa ini tidak menghasilkan apa-apa. Namun,
setidaknya hal ini sebagai langkah awal kaum muda Banten untuk membuka
wacana lanjutan tentang Provinsi Banten (wawancara dengan Indra Abidin,
tanggal 2 September 2003 di Jakarta).
Langkah selanjutnya yang
lebih terarah dilakukan kaum muda di Serang yang tergabung dalam Gerakan
Pemuda Reformasi Indonesia (GPRI). Berbagai pertemuan, diskusi,
dilangsungkan di rumah H. Sanuri Al-Mariz di Kompleks DPRD Serang. Para
pemuda ini juga melakukan kunjungan kepada pemuka intelektual seperti
H.M.A. Tihami, Rektor STAIN Serang, Hasan Muarif Ambary, Kepala Puslit
Arkeolog Nasional. Selanjutnya dilakukan pertemuan di Hotel patra jasa,
Anyer yang menghasilkan Panitia Musyawarah masyarakat Banten dengan
Ketuanya Agus Najiullah Ibrahim didampingi Aenk Chaerudin dan Udin
Saparudin. Beberapa pengusaha Banten diminta kontribusi untuk pembiayaan
musyawarah. (wawancara dengan Indra Abidin, yang juga hadir dalam
pertemuan itu).
Atas gagasan K.H. Irsyad Djuwaeli, Ketua Matla'ul
Anwar banten, didirikanlah Kelompok Kerja-PPB, beberapa tokoh
masyarakat ikut bergabung di dalamnya. Berbagai pertemuan dilakukan
untuk membuat perencanaan-perencanaan tentang pembentukan Provinsi
Banten. Rupanya, bukan hanya kelompok ini yang memikirkan tentang PPB,
berbagai kelompok lain muncul. Pada pertengahan Juli 1999 dengan
diketuai oleh H. Uwes Qorny. Kegiatan pertamanya adalah mengadakan rapat
akbar bertempat di Alun-alun barat Kabupaten Serang. dalam rapat itu
dibacakan Deklarasi Rakyat Banten 1999 yang ditandatangani oleh 30 orang
tokoh Banten, antara lain Uwes Qorny, Uu Mangkusasmita, Djajuli
Mangkusubrata, Gunawan, Sofyan Ichsan, dan lain-lain. Deklarasi itu
berbunyi sebagai berikut :
" Bismillahirrohmanirrohiim Kami,
Rakyat Banten, dengan ini menyatakan bahwa Propinsi Daerah Tk.I Banten
sudah saatnya dibentuk. Hal-hal lain yang menyangkut legalisasi
hendaknya diselenggarakan sesuai dengan peraturan dan
perundannga-undangan yang berlaku dalam tempo yang secepat-cepatnya.
Semoga Allah SWT, meridho'i perjuangan kami, ammien, Serang, Ahad 5
Robi'ul Tsani 1420/Minggu 18 Juli 1999," (Mansur, 2001:174-175)
Pengakuan
pemerintah terhadap keinginan rakyat banten mulai tampak akhir bulan
Juli 1999, Mendagri Syarwan Hamid dalam kesempatan wisuda Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, menyatakan bahwa
keinginan masyarakat Banten adalah sesuatu hal yang wajar dan perlu
diproses. Pernyataan Mendagri ini disambut hangat masyarakat Banten.
Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1999 (Mansur, 2001:2001:134). Digelar
Seminar Nasional " Mempertegas Proyeksi Terwujudnya Propinsi Banten,"
bertempat di Hotel Patra Jasa Anyer. Tampil sebagai pembicara adalah
Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Ekky
Syahruddin (Anggota DPR-RI), Irsyad Djuwaeli (Ketua PB Matla'ul Anwar),
H.M.A.Tihami (Ketua STAIN SMHB), Kahumas Depdagri Herman Ibrahim, dan R.
Gunawan. Para pembicara yang melihat dari masing-masing bidang
menganggap bahwa Provinsi Banten memang layak diwujudkan
(Supandri,2002:37; Masur, 2001:134-135). Dalam Seminar yang dihadiri
para tokoh masyarakat Banten ini, yang penting adalah pengesahan
Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten (Pokja-PPB) yang diketuai
Irsyad Djuwaeli, dengan Sekretaris Umum Rusli Ridwan, dan Bendahara R.
Gunawan, dan duduk sebagai penasehat sejumlah tokoh seperti Ekky
Syahruddin, H. Tubagus Bachtiar Rifa'i, Tubagus Chasan Sochib, Uwes
Qorny, H. Embay Mulya Syarif, H. Djoko Munandar, Tubagus Farich Nahril,
Djajuli Mangkusubrata, Uu Mangkusasmita, dan lain-lain (Supandri,
2002:37-38).
Sosialisasi untuk mendirikan Provinsi Banten terus
digulirkan melalui berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.
Dalam berita-berita itu diungkapkan bahwa usaha untuk mendirikanProvinsi
Banten sebenarnya sudah dimulai tahun 1953. Respons dan
antusiasmeberbagai kalangan masyarakat terhadap ide PPB telah mendorong
beberapa tokoh elite untuk mengkonsolidasikan diri secara lebih teratur,
sistematis dan teroganisasi.
Sementara itu, gagasan tentang PPB
bergulir terus. Masih pada bulan Agustus 1999 dibentuklah Badan Pekerja
Komite PPB di Kampung Pari, Kecamatan Mandalawangi. badan ini bertugas
menyusun kepengurusan di tiap Kabupaten. pada waktu itu disusun Pengurus
Sub Komite- PPB (SK-PPB) Kabupaten Pandeglang dengan Ketua Aceng Ishak.
Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1999 diadakan
pertemuan di Pondok Kharisma Labuan dan menghasilkan Forum Silaturahmi
Warga Pandeglang 9Fosgalang) yang akan memperkuat perjuangan SK-PPB
Pandeglang. Selanjutnya pada tanggal 11 September 1999, di Gedung Graha
Pancasila Paneglang, SK-PPB Pandeglang dideklarasikan sekaligus
pelantikan Pengurus Fosgalang. Organisasi ini diketuai oleh H. Djadjat
Mudjahidin, Wakil Ketua K.H. Aminuddin Ibrahim, dengan Ketua Dewan
Penasehat H.M. Zein, mantan Bupati Pandeglang, dalam acara itu SK-PPB
Pandeglang mengeluarkan pernyataan sikap yang isinya antara lain
mendesak kepada Pemda dan DPRD Pandeglang untuk segera memproses
pendirian Provinsi Banten (Mansur, 2001:144-145).
Aktifitas di
Pandeglang ini sangat menarik terutama kemudian dikaitkan dengan
pernyataan seorang tokoh yang bersifat legitimasi historis. Ia
menyatakan bahwa kakeknya pernah berpesan bahwa bila ingin mewujudkan
Provinsi Banten, kalau mau berhasil harus dimulai dari Pandeglang, di
tutugan Pulosari. Oleh karena itu, ketika diadakan pertemuan di kampung
Pari, ia merasa yakin akan berhasil, karena Tutugan Pulosari adalah
bekas Kerajaan Salakanagara dahulu (Mansur,2001:145). Hal ini menarik
karena pernyataan dibuat setelah Provinsi Banten berdiri, atau
pernyataan bersifat post-eventum.
Pada tanggal 20 September 1999,
pengurus SK-PPB Bandung Raya dibentuk, dengan Ketua : H. Muslim
Djamaludin, Sekretaris Tb. Kun Maulawarman, pada saat yang sama dibentuk
pula SK-PPB di Kabupaten Serang dengan Ketua: Achmad Sudirdja,
menyikapi apa yang tengah terjadi di Banten, Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Barat mulai memperhatikan sikap karena kalau Banten berdiri
sendiri, itu berarti sebagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) hilang, belum
lagi dampak lainnya. Rombongan unsur-unsur masyarakat Banten berupaya
datang ke Gedung Sate untuk menyampaikan aspirasi mereka. Misalnya pada
tanggal 4 Oktober 1999, Forban (Forum Pergerakan Banten) yang terdiri
dari beberapa unsur organisasi mahasiswa kedaerahan yang berdomisli di
Bandung antara lain Kumandang (keluarga Mahasiswa Pandeglang), Kumala
(Keluarga Mahasiswa Lebak), KMC (kKeluarga Mahasiswa Cilegon), IMB
(Ikatan Mahasiswa Banten), KMB (Keluarga Mahasiswa Banten), IKMB (Ikatan
Keluarga Mahasiswa Banten), dan Kamayasa (Keluarga Besar Mahasiswa
Tirtayasa), salah satu Presidiumnya adalah Saefudi, dan sebagai
kordinator divis aksi yaitu Iwan Ridwan, datang untuk berdialog dengan
Gubernur Jawa Barat pada tanggal 29 Oktpber 1999, Gubernur Jawa Barat
H.R. Nuriana menyerahkan bantuan dari Yayasan "Saung Kadeudeuh" untuk
masyarakat Banten, berupa bantuan uang muka rumah RSS bagi 156 karyawan
golongan I dan II di Kabupaten Lebak, sebesar 218,4 juta. Dalam
kesempatan itu, Gubernur mempertanyakan apakah keinginan untuk
mendirikan Provinsi Banten itu merupakan keinginan segelintir elite atau
memang keinginan rakyat?, Gubernur menyarankan agar diadakan
referendum. Secara diplomatis Gubernur menyatakan bahwa ia tidak akan
menghalang-halangi PPB, sepanjang itu dilakukan secara demokratis dan
konstitusional (Pikiran Rakyat, 30 Oktober 1999).
Sebagai
kelanjutan berdirinya KPPB, pada tanggal 2 November 1999 dibentuk
Pengurus Sub Komite Pembentukan Provinsi Banten (SK-PPB) di Kabupaten
Tangerang dan Kota Tangerang, yang diketuai oleh H. Tamin HR dan pada
hari yang sama dibentuk pula Pengurus SK-PPB di Cilegon yang diketuai
oleh H. Zaidan Riva'i (Ketua DPRD Cilegon) (Supandri, 2002:47).
Dalam
perjalanan waktu yang relatif cepat, ada dua organisasi PPB yang besar
yaitu KPPB yang telah berdiri tanggal 18 Juli 1999 dan Pokja-PPB yang
berdiri tanggal 1 Agustus 1999. Ketua kedua organisasi ini sam-sama
berasal dari Rangkasbitung dan umur organisasi keduanya hanya terpaut
dua minggu saja. Namun tampaknya ada ketidakcocokan di antara kedua
ketuanya. Meskipun sudah ada upaya untuk mencari wadah koordinasi untuk
mempersatuakn KPPB dan Pokja-PPB, agaknya tindakan Pokja-PPB dibalas
oleh KPPB. Pada tanggal 6-7 November 1999 dilangsungkan Rapat Koordinasi
(Rakor) KPPB yang dilaksanakan di Islamic Center, Serang dalam Rakor
ini Pokja- PPB tidak diundang. Rakor ini dihadiri oleh perwakilan dari
empat Kabupaten dan dua Kota di Banten. Kegiatan ini dilanjutkan dengan
pertemuan pada tanggal 20-24 November 1999 di Pondok Kharisma Labuan,
yang menghasilkan poko-pokok pikiran setebal 10 halaman, yang dirumuskan
oleh Tim Sembilan yaitu Uwes Qorny, Eutik Suwarta, Aceng Ishak, H.E.
Tjutju Suryalaga, Agus Aan Heryana, Yayat Hasrat Triana, Dede Biul, H.
Djadjat Mudjahidin, dan K.H. Djunaedi. Pokok-pokok pikiran yang disebut
"Buku Biru" itu disampaikan kepada DPRD se-Wilayah Keresidenan Banten,
DPRD Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, DPR-RI, dan Presiden Abdurahman
Wahid (Mansur,2001:162-173).
Perseteruan antara Pokja-PPB dengan
KPPB meletup pada tanggal 27 November 1999, Tim Pokja PPB mengadakan
pertemuan di Rumah Makan sari Kuring Cilegon. Dalam acara itu diundang
para Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan tokoh-tokoh masyarakat, seperti
Ekky Syahruddin,SE (anggota DPR-RI), H. Tubagus Farich Nahril, H.
Tubagus Chasan Sochib dan lain-lain. Sementara, pengurus KPPB tidak
diundang secara tertulis. Namu atas saran H. Tubagus Chasan Sochib,
pengurus KPPB diminta hadir. Ternyata dalam pertemuan itu, para tokoh
KPPB hanya menjadi penonton sehingga suasana pertemuan menjadi tegang.
Ekky Syahruddin yang menjadi pemandu acara berusha mengharmonisasikan
suasana dengan meminta Iwa Tuskana wakil KPPB untuk angkat bicara.
Ketika berbicara itulah terdengar gelas pecah-pecah. Meskipun Ekky
berusaha keras mengatasi situasi, para pengurus KPPB akhirnya
meninggalkan acara sebelum pertemuan usai (Mansur,2001 155, juga
wawancara dengan H.Tb.Farich Nahril pada tanggal 19 Agustus 2003). Pada
malam itu diumumkan juga dana perjuangan yang berhasil dikumpulkan dari
para Bupati, Walikota, dan para tokoh Banten.
Melihat sikap
masyarakat Banten yang begitu antusias dengan PPB, wakil-wakil rakyat di
Dewan tingkat Kabupaten-Kabupaten Keresidenan Banten cepat tanggap
dengan aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat. Pada tanggal 2
Desember 1999, DPRD Tk.II Serang memberikan Keputusan untuk menyetujui
Pembentukan Provinsi Banten.
Isu tentang Provinsi Banten terus
bergema, para tokoh Banten berusaha mendapatkan dukungan dari Mendagri.
Kelompok Jakarta dan para tokoh Banten lainnya mendapat kesempatan untuk
bertemu Mendagri Suryadi Sudirdja, setelah Menteri meresmikan pameran
di Hotel Bidakara, Jakarta pada tanggal 3 Desember 1999. dalam pertemuan
yang dilakukan di Restaurant Hotel tersebut, para tokoh Banten yang
hadir adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini. H. Uwes Qorny, H. Irsyad
Duwaeli, Aly Yahya, H.M.I. Tihami, dan H.Tb.Chasan Sochib. Mendagri
memberikan saran bila rakyat Banten memang sudah bulat. H. Tb. Farich
Nahril, masih ada hubungan keluarga dngan Ekky Syahruddin, yang sengaja
datang dalam pertemuan itu, atas undangan Aenk Haerudin, anggota KAHMI
yang menjadi pengurus Pokja-PPB. Namun, ia meninggalkan pertemuan
sebelum acara selesai setelah melihat situasi yang diwarnai ketegangan
antara KPPB dan Pokja-PPB.
Pada tanggal 5 Desember 1999, KPPB
menggelar rapat akbar di Mesjid alun-alun Agung Banten Lama dengan tema
"Melalui Munas Pembentukan Provinsi Banten Kita Tingkatkan Kesejahteraan
Perekonomian Rakyat" . Dalam kesempatan itu Aceng Ishak membacakan
"Deklarasi Nasional Pembentukan Provinsi Banten". Dalam acara deklarasi,
yang dihadiri Uwes Qorny dan tokoh-tokoh KPPB ini, juga berhasil
dikumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat yang hadir di alun-alun, di
atas kain spanduk sepanjang 25 meter. Teks Deklarasi yang dirancang oleh
Tim KPPB itu berbunyi sebagai berikut :
"Kami rakyat Banten
dengan ini menyatakan bahwa Propinsi Daerah Tingkat I Banten sudah
saatnya dibentuk. Hal-hal yang menyangkut legalisasi hendaknya
diselenggarakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku dalam tempo secepat-cepatnya. Semoga Allah SWT. meridhoi
perjuangan kami. Amien (Mansur,2001:174).
Dalam rekomendasi KPPB
disebutkan bahwa KPPB adalah satu-satunya wadah masyarakat Banten untuk
memperjuangkan Propinsi Banten. Mungkin hal ini bisa dianggap sebagai
tindakan mengesampingkan Pokja-PBB yang diketuai K.H. Irsyad Djuwaeli
atau menunjukan bahwa ada ketidakcocokan antara Pokja-PBB dengan KPPB,
terutama menyangkut ketua umum kedua organisasi ini. Menurut beberapa
sumber kedua organisasi ini memang berkompetisi untuk mendapat pengakuan
sebagai satu-satunya wadah untuk memperjuangkan Propinsi BAnten
(Mansur,2001:147-148, juga wawancara dengan Tb.Farich Nahril,19 Agustus
2003,dan keterangan tertulis H.Mardini, 11 September 2003).
Selanjutnya
pada tanggal 7 Desember 1999, DPRD Tingkat II Lebak mengeluarkan surat
keputusan persetujuan untuk PBB, diikuti kemudian pada tanggal 13
Desember 1999 oleh DPRD kabupaten Serang. Sehari kemudian, tanggal 14
Desember DPRD Kota Cilegon menyampaikan keputusan yang sama. Surat-surat
keputusan ini tentu saja ditembuskan ke DPRD Jawa Barat dan DPR RI
Jakarta, sebagaimana juga surat keputusan dari DPRD Tk II Pandeglang.
Pada
tanggal 16 Desember 1999, rombongan ulama dan tokoh masyarakat Banten
baik formal maupun informal datang untuk menyampaikan aspirasi mereka ke
Gedung Sate. Selanjutnya, pada tanggal 20 Desember 1999, DPR RI
mengadakan kunjungan kerja ke Bandung dan mempertanyakan masalah ini
kepada Gubernur Jabar. Dalam kesempat itu, Gubernur menjelaskan bahwa
peluang PBB cukup terbuka, asalkan keinginan itu merupakan keinginan
masyarakat Banten yang diproses secara demokratis dan konstitusional,
dan secara politis disetujui oleh DPRD setiap kabu[paten/ kotamadya.
Pada
tanggal 9 Januari 2000 diselenggarakan aacara memperingati Haul Sultan
Maulana Hasanudin di kediaman K.H. Tb. A Sadzili Wasi, pimpinan Pondik
Pesantren Al-Qur'aniyah Banten yang berada dalam kompleks Masjid Agung
Serang. Dalam kesempat itu, Akbar Tanjung yang hadir selaku Ketua DPR-RI
menyatakan dukungan atas pembentukan Propinis Banten. Sementara itu
DPRD Tingkat II Banten yang telah menyetujui PBB adalah Serang,
Pandeglang, Rangkasbitung, dan Lebak. Tanerang saat itu masih belum
memberikan persetujuannya ( Mansur, 2001:183).
Selanjutnya di
Bandung, ketika Ketua DPR RI sudah menyatakan sikap mendukung PBB, DPRD
Propinsi Jawa Barat pun akhirnya menyetujui untuk dibentuknya
Undang-undang PBB. Namun, Gubernur Jawa BArat tidak begitu saja
menyetujui. Pemda Propinis Jabar, pada awal Januari 2000 meminta kepada
Bappeda Jabar untuk mengadakan studi kelayakan bakal Propinsi Banetn.
Bappeda Jabar meminta Kusnaka Adimihardja, Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Padjajaran, Yudistira Garna, Guru Besar Antropologi Ahli
Baduy dari Universitas Padjadjaran, dan Nina Herlina Lubis, Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, untuk membuat kajian
sosial budaya dan sejarah Banten. Sebagai akademisi, ketiga pakar
membuat kajian obyektif sesuai bidang masing-masing.
Isu PBB
terus bergulir dalam berbagai temuan formal maupun informal seperti
pengajian, training pengkaderan aktivitas, dalam seminar, diskusi serta
pertemuan para ulama dan berbagai kalangan lain. Dalam berbagai kegiatan
ini pengembangan semangat korps, solidaritas, dan perasaan senasib
sepenanggungan menjadi sesuatu yang penting. Perasaan ini dikembangkan
para tokoh Banten dengan mengekspos isu etnisitas bahwa Banten itu
berada dengan periangan. Secar historis Banten mempunyai jalan
sejarahnya sendiri yang berbeda denag sejarah Priangan yang sempat
dijajah Mataram.Sementara Banten sempat berjaya dengan kesultanannya.
Bahkan sejak lama Banten dan Periangan itu berhadapan baik secara
langsung aupun tidak langsung. Pada zaman kolonial para pamong praja
Priangan dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Seperti telah dikemukakan
bahwa dalam gerakan sosial yang mewabah di Banten pada abad ke-19, yang
dijadikan sasaran adalah para pejabat kolonial dan pamong praja. Dan
permusuhan ini berlanjut sampai zaman kemerdekaan sengan terjadinya
pengusiran birokrat Priangan oleh kaum revolusioner Banten. Pada zaman
Orde Baru malah Banten merasa dijajah kembal para birokrat Priangan yang
menjadi para bupati dan pejabat. Dengan format dan struktur poltik
yangbersifat sentralistis, penempatan pejabat-pejabat penting di daerah
seperti bupati dan walikota sangat ditentukan oleh selera pusat atau
propinsi sehingga tidaj aneh jika jabatan-jabatan itu hampir selalu
merupakan porsi pejabat dari Priangan. Dengan jabatan puncak di daerah
yang dikuasai pejabat dari Priangan tidak sedikit jika rekrutmen pegawai
pun banyak dari orang Priangan juga sehingga KORPI diplesetkan menjadai
"Korp Priangan". Ketua STAIN Hasanuduin, mencontohkan bagaiman porsi
pengisian pegawai di kampanye menjadi sepenuhnya wewenang orang propinsi
tanpa ada kemampuan pihaknya untuk merekrtu pegawai sesuai
kebutuhannya. Wakil Ketua KPPB,Djajuli Mangkusubrata di hadapan tim DPRD
di Serang pernah menyatakan, "Rakyat Banten lebih baik hidup merdeka
dalam Propinsi Banten sekalipun serba kekurangan dahulu dari pada hidup
serba ada tapi tetap "dijajah" oleh propinsi lain. Hal yang sama
sebagaimana dikatakan Guru Besar UNTIRTA Suparman Usaman, dengan
mengutip pahlawan Filipina, Jose Rizal bahwa, "Lebih baik hidup di
neraka tapi merdeka dari pada hidup di surga tapi "dijajah". Barangkali
satu hal cukup mengagetkan, dipintu rumah seorang penduduk Baduy luar,
tertempel stiker bertuliskan "Propinsi atau Mati".
Tb.H. Farich
Nahril, MBA mengajak H. Mardini dan Muchtar Mandala, untuk ikut serta
dalam perjuanagan pembentukan Propinsi Banten. Mereka berusaha mencari
penyelesaian yang tepat untuk mengkoordinasikan semua elemen yang
terkait dengan PBB, termasuk merukunkan Pokja-PBB dan KPPB. Mereka
bertiga melakukan pertemuan di Hotel Arya Duta Jakarta. Para tokoh ini
sepakat untuk mengundang kedua kubu yang terlibat konflik. Dalam
pertemuan berikutnya, tanggal 18 Januari 2000, di tempat yang sama,
ternyata hanya KK. Irsyad Djuwaeli yang memenuhi unangan Farich dan
kawan-kawan. Meskipun belum berhasil mempertemukan kedua tokoh itu,
tetapi persoalan agaknya sudah jelas. Kedua kelompok besar itu, saling
mengkalim sebagai wadah satu-satunya untuk memperjuangkan Propinsi
Banten. Padahal menurut kubu Irsyad Djuwaeli, KPPB bertugas melakukan
sosialisai PBB ke tingkat grass-root, sedangkan POKJA-PBB bertugas
mempersiapkan SDM dan SDA dalam rangka PBB (Mansur,2001:176, juga
wawancara dengan Tb. H. Farich Nahril, 19 Agustus 2003 dan keterangan
tertulis dari H. Mardini, 11 September 2003). Namun yang tampak ke
permukaan adalah pesaingan antara kedua kelompok itu. Apabila dalam satu
kelompok terlontar satu gagasan utnuk menyelenggarakan kegiatan,
tiba-tiba kelompok lainnya mendahului mengadakan kegiatan, tiba-tiba
kelompok lainnya mendahului mengadakan kegiatan tersebut. Dalam
pandangan Tb.Farich Nahril dan kawan-kawan, konflik antara KPPB dan
Pokja-PBB inisangat kontra-produktif dalam mewujudkan PBB. Itulah
sebabbya konflik harus segera diakhiri secara 'win-win solution."
Selanjutnya, atas usaha H.Mardini, Ketua KPPB H.Uwes Qorny akhirnya
bersedia untuk bertemu dengan ketua Pokja-PBB KH. Irsyad Djuwaeli. "
Kelompok Jakarta" akhirnya berhasil "merukunkan" kedua tokoh yang
berseteru itu dalam acara silaturahmi yang diadakan di Restoran Jepang
Shima, di Hotel Arya Duta Jakarta. Dalam pertemuan itu, selain ketiga
pemrakarsa, hadir pula cendikiawan Banten, H.MA Tihami, dua anggota DPR
RI asal Banten yaitu Ekky Syahruddin danAly Yahya, serta tokoh-tokoh
dari kedua kubu yaitu Hasan Alaydrus, H.Segaf Usman, Udin Safarudin,
Aenk Haerudin, H. Bay Mulyadi Jayabaya, Uu Mangkusasmita, dan lain-lain
yang berjumlah sekitar 15 orang. Dalam kesempatan itu, Muchtar Mandala
mengusulklan utnuk mengadakan silatuhrami besar-besaran di tempat
peristirahatannya di Kampung Nyimas Ropoh di Pandeglang.
Sementara
itu, meski agak terlambat, mengingat adanya tarik-menarik antara yang
pro dan kontra di Kabupaten Tangerang, baru pada tanggal 22 Januari
2000, Pimpinan DPRD Kabupaten Tangerang mengeluarkan Surat Pernyataan
Persetujuan untuk Pembentukan Propinsi Banten.
Para tokoh Banten
bergerak terus menggalang dukungan dari elite Banten yang berada di luar
Banten, seperti Bandung, Bogor, dan Jakarta. Hasilnya cukup positif,
meskipun tentu saja tidak sedikit elite yang dengan berbagai alasan
tidak tertarik untuk mendukung PBB. Akan tetapi, pada akhirnya
kebanyakan elite Banten bersikap mendukung. Salah seorang tokoh Banten
yang tinggal di Jakarta adalah Tb. H.Tryana Sjam'un. Ia mantan bankir
yang juga pengusaha serta menjadi pemegang saham dan komisaris di
berbagai perusahan ini.Ia tampil menjadi motor penggerak dari berbagai
kegiatan yang berskala nasional dalam rangka mewujudkan Propinsi Banten.
Awal keterlibatannya secara langsung dimulai ketika Uwes Qorny Sjam'un,
sebagai pengusaha yang biasa dahulu studi kelayakan tentang PBB. Studi
kelayakan harus dilakukan oleh tim independen.
Ketika ia bertemu
kembali dengan sahabatnya itu, Uwes Qorny menyatakan, bahwa kajian
seperti itu akan memakan waktu terlalu lama, sementara PBB harus dicapai
dalam waktu secepatnya.
Sesuai engan kesepakatan di Hotel Arya
Duta tanggal 18 Januari 2000, mengadakan acara hala-bihalal di kampung
Nyimas Ropoh, Pandeglang. Bertindak sebagai tuan rumah adalah H. Muchtar
Mandala Menurut tuan rumah, dalam buku tamu tercatat sebanyak 540 orang
yang hadir; ditambah dengan panitia dan tamu-tamu yang tidak mengisi
buku tamu, diperkirakan jumlah peserta yang hadir mencapai lebih dari
600 orang. Mendagri Surjadi Sudirdja, yang hadir atas usaha H. Mardini,
dalam sambutannya mengatakan bahwa selama hidupnya baru kali ini
menyaksikan begitu banyak tokoh Banten dapat berkumpul bersama. Memang,
"Pertemuan Nyimas Ropoh" dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat
mulai dari para ulama, para pendekar, ibu-ibu yang tergabung dalam IWABA
( Ikatan Wanita Banten), pemuda, mahasiswa, para tokoh masyarakat baik
yang ada di Banten maupun yang berada di luar Banten, para Bupati
se-Banten, serta para ketua DPRD se-Banten. Dalam pertemuan silatuhrahmi
ini, yang bertindak sebagai pengundang yaitu Uwes QOrny,Irsyad
Djuwaeli, an H. Mardini. Sementara itu, para tokoh Banten yang hadir
antara lain Mendagri Letjen (purn) Suryadi Sudirdja, Ketua KAHMI Jaya,
Tb. Farich Nahril, Tb.H. Tryana Sjam'un, Anggota DPR-RI Ekky Syahrudin,
H.M.Aly Yahya, dan Umbu Saraswati, cendekiawan asal Banten Rony
Nitibaskara, Mustopadidjaja, danH.MA Tihami, pengusaha H.Tb. Chasan
Sochib, Ajat Sudrajat, H.Hariri Hady, artis Muni Cader dan Dedy Gumelar
(Miing Bagito), H. Aceng Ishak , H. Djadjat Mudjahidin, Elwa Tuskana, H.
Djuwanda, H.Bay Mulyadi Jayabaya, para ulama KH.Aminuddin Ibrahim.
LML,KH. Yusuf, dan H. Embay Mulya Syarif, H. Irja Karis, H.Mansyur
Muchjidin, H.Tb. Aat Syafaat, Uu Mangkusamita, H,Djajuli Mangkusubrata,
Agus Najiullah, Tb.Encep Hadimulyana. Para pejabat Banten yang Hadir
antara lain Bupati Pandeglang Yitno, Bupati Lebak Yas'a Mulyadi, ketua
DPRD Pandeglang, Encep Daden Ibrahim, dan Ketua DPRD Kab. Tangerang.
Tokoh lainnya yaitu, Dadang, Aceng Ishak, Hariri Hadi, Sudradjat, Harun
Kamil, Palgunadi, dan lain-lain.
Sebagai puncak acara dibacakan
"Deklarasi Nyi Mas Ropoh" yang dibacakan oleh Encep Daden Ibrahim, Ketua
DPRD Pandeglang dengan didampingi oleh ketua-ketua DPRD se Banten. Hal
ini dapat dipandang sebagai dukungan resmi dari semua Ketua DPRD Tingkat
II Karesidenan Banten, yang hadir dalam acara itu. Isi pernyataan itu
sebagai berikut :
1. Kami warga masyarakat Banten senantiasa
konsisten untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam satu
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Kami warga masyarakat
Banten mendesak lembaga legislatif dan eksekutif, baik di daerah maupun
di pusat, untuk segera mewujudkan Banten sebagai propinsi, serta kami
siap berpegang teguh menerima amanat aspirasi masyarakat akan
terbentuknya Banten propinsi.
3. Kami warga masyarakat Banten
bersepakat untuk tetap menjaga keutuhan dan kebersamaan dalam rangka
merealisir amanat tersebut sesuai dengan harapan masyarakat Banten
sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Banten.
Demikian surat pernyataan sikap bersama ini kami buat dengan sebenar
-benarnya tanpa ada intervensi tanggungjawab akan terciptanya masyarakat
adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Semoga niat ini selalu
ada dalam lindungan Allah Swt. Amin (Mansur,2001:180-181).
Suasana
pertemuan itu menyiratkan bahwa mereka yang hadir pada umumnya
merasakan kobaran semangat para peserta dan tumbuhnya rasa kebersamaan,
rasa persaudaraan yang begitu menyatu, kompak bersatu untuk satu tujuan
yang tidak mungkin dapat dibendung lagi yaitu semangat "Banten harus
menjadi Propinsi".Beberapa peserta merasa yakin dengan semangat seperti
ini Banten "pasti" jadi Propinsi, bahkan kalau melihat suasana pertemuan
waktu itu, ada semacam perasaan seakan Banten benar-benar telah menjadi
Propinsi.
Seperti telah disepakati dalam pertemuan di kampung
Nyimas Ropoh, para tokoh Banten menemui ketua DPR RI pada tanggal 25
Januari 2005. Rombongan berkumpul lebih dahulu di Permata Hijau untuk
mematangkan rencana kemudian berangkat bersama-sama ke gedung DPR RI di
Senayan Jakarta. Tokoh-tokoh masyarakat Banten yang hadir yaitu Pimpinan
DPRD sewilayah Banten, H.Uwes Qorny, Tb. H.Farich Nahril, H.Muchtar
Mandala, H. Mardini, Tb.H.Tryana Sjam'un, Irsyad Djuwaeli, Tb.Chasan
Sochib, KH.Aminuddin Ibrahim, H.Tb. Aat Syafaat, Djunaedi As'ad, dan
lain - lain. Para tokoh Banten ini diterima dengan baik oleh Ketua DPR
RI Akbar Tanjung yang didampingi beberapa pimpinan DPR lainnya di Gedung
Nusantara III di Lantai.
Dalam kesempatan itu, Ketua DPR RI
menyatakan bahwa dilihat dari tuntutan masyarakat, urgensi usul PBB itu
sangat tinggi sehingga DPR akan berupaya agar aspirasi tersebut dapat
tersalurkan dengan baik. Usai pertemuan itu, rombongan yang berjumlah
sekitar seratus orang itu dijamu makan siang oleh Tb. H. Tryana Sjam'un
di Restoran Lagoon Hotel Hilton Jakarta. Pada saat itu dibicarakan
tentang strategi dan langkah-langkah lanjutan serta anggaran biaya yang
dperlukan untuk berbagai kegiatan PBB karena tidak mungkin suatu
organisasi bisa berjalan tanpa dukungan finansial. Pada malam harinya,
Tryana Sjam'un mengundang makan malam beberapa tokoh yang hadir dalam
pertemuan siang itu dirumahnya di Kemang Selatan. Dalam kesempatan itu,
Tryana Sjam'un menyeahkan sejumlah uang kepada H. Mardini untuk kegiatan
PP. (keterangan tertulis H.Mardidi 11 September 2003).
Pertemuan
"Kelompok Jakarta" selanjutnya dilakukan di rumah Tb. H.Farich Nahril
di Permata Hijau. Sebagai seorang organisatoris kawakan, ia menekankan
perlunya perencanaan yang baik yang pasti harus ada dukungan finansial
yang cukup. Maka Ketua KAHMI jaya ini mengontak para pengusaha asal
Banten yang dikenalnya. Dalam pertemuan di Permata Hijau itu, Tb. Farich
Nahril mengusulkan dibentuknya wadah yang berfungsi sebagi
"koordinator" organisasi-organisasi dan elemen-elemen yang terkait
dengan PBB. Para pengusaha asal Banten itu kemudian membentuk wadah yang
disebut "Koordinator Himpunan Pengusaha Banten", yang anggotanya
terdiri dari Tb.Farich Nahril, H. Muchtar Mandala, Tb. H.Tryana Sjam'un,
KH. Irsyad Djuwaeli, Tb.H. Chasan Sochib, H. Mardini, dan lain-lain.
Pada
tanggal 4 Februari 2000, para pengusaha Banten di atas mengundang para
tokoh masyarakat Banten untuk menghadiri pertemuan dirumah Tb.H.Tryana
Sjam'un, di Jalan Kemang Selatan VIII Jakarta. Bertindak sebagai panitia
pengundang adalah Tb.Farich Nahril dan H.Mardini. Dalam pembukaan
rapat, H. Mardini menyampaikan perlunya dibentuk wadah berupa organisasi
dan perlunya seorang tokoh yang bakal memimpin organisasi ini.
Sebagaian besar peserta pertemuan itu hampir menyepakati dibentuknya
wadah Himpunan Pengusaha Banten, yang memang telah dibentuk sebelumnya.
NamunH.Muchtar Mandala, mengusulkan wadah yang lebih tepat untuk
menyatukan kelompok-kelompok perjuangan PBB ia mengusulkann agar wadah
itu dinamai Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten (Bakor-PBB).
Rapat juga menyepakati Tb.H.Tryana Sjam'un sebagai Ketua Umum Bakor-PBB,
yang diterima para hadirin secara aklamasi sebagaiketua Umum
Bakor-Banten dan Tb. H.Farich Nahril sebagai Sekretaris Umum dan H.
Mardini sebagai Bendahara Umum. Dalam rapat penyempurnaan pengurus di
Jalan Penglima Polim Raya No.49 Jakarta ditetapkan nama wadah tersebut
sebagai Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten (Bakor-PBB), yang
beranggotakan semua unsur pergerakan perjuangan Propinsi Banten yang
berada di wilayah Banten dan sekitarnya termasuk yangada di Jakarta,
Bandung, Bogor, dan Lampung.
Dalam gerakan PBB, tidak bisa
dilupakan peran mahasiswa sebagaimana juga ketika terjadi penggantian
Orde Lama oleh Orde Baru, kemudian pergantian Orde Baru, peran mahasiswa
sangat signifikan. Demikian juga dalam gerakan PBB, kontribusi mereka
cukup penting. Para aktivis mahasiswa ini mengkonsoli-dasikan diri ke
dalam berbagai kelompok dan forum untuk maksud membantu
mengaktualisasikan pembentukan Provinsi Banten ini baik yang ada di
Banten sendiri maupin di luar Banten seperti, mulai dari Senat Mahasiswa
Untirta,STAIN, IAIB, AMIK, dan Akperta di Banten hingga
organisasi-organisasi mahasiswa di luar Banten seperti di Depok:
Fakultas UI, di Bandung: Forum pergerakan Mahasiswa Banten (FORBAN),
Kumala, Kumandang, Kumayasa, IMB, IKMB, KMB, HMB, dan Himata, serta di
Bogor: Gerakan Mahasiswa (GEMA) (Mulyana, 2000:314).
Tidak
ketinggalan juga adalah warga Banten di luar Banten yang turut
terpanggil untuk mengkonsolidasikan diri atau setidaknya lebih eksis
setelah adanya isu ini seperti warga Banten yanga ada di Bandung
(Riwaban), Warga Banten Jakarta, Cianjur, Lampung dan lain-lain.
Pengorganisasian gerakan semacam ini tentu saja menjadikan upaya-upaya
untuk mencapai sasaran gerakan menjadi lebih efektif dan efisien.
Misalnya dengan mendesakan dukungan dan rekomendasi dari lembaga-lembaga
politik formal baik di tingkat regional, lokal maupun nasional
(Mulyana, 2000:315).
Pada bulan Mei dilakukan rapat Pansus dengan
mengundang pemerintah. Waktu itu pemerintah meminta penundaan UU
Pembentukan Provinsi Banten karena pembentukan DPOD belum selesai. Tentu
saja penundaan itu membuat masyarakat Banten kesal hingga ada yang
mengancam akan menutup jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta atau
mengancam akan memadamkan PLTU Surlayala dan memblokir penyebrangan
Merak-Bakauheni (Mansur, 2001:2004-241)
Pada tanggal 8 Juni 2000,
Ketua Dewan Penasehat Bakor-PBB Tb. H. Chasan Sochib bersama unsur
Muspida se-Wilayah I Karesidenan Banten dan tokoh-tokoh masyarakat
Banten mengadakan pertemuan untuk pamit kepada Gubernur Jawa Barat
pertemuan dilangsungkan di Gedung Dispenda Jawa Barat di jalan Soekarno
Hatta. Dalam kesempatan itu, Gubernur HR Nuriana belum bisa mengatakan
soal setuju atau tidak karena hasil penelitian DPOD pun belum ada. Di
antara peserta pertemuan, ada yang merasa kurang setuju dengan
pernyataan Gubernur JAbar itu sehingga keluar ruangan. Setelah pertemuan
itu, Tb. H. Chasan Sochib spontan mohon izin untuk pamitan keliling ke
daerah-daerah Tingkat II Jawa Barat, Bogor, Cirebon, Purwakarta, dan
Garut. Safari perpisahan itu dilakukan tanggal 20-23 Juni 2000 (Mansur,
2001:261-271).
Ketika akhirnya DPOD terbentuk, Bakor-PBB pun
bergerak cepat. Lobby demi lobby dilakukan pimpinan Bako-PBB kepada para
mentri yang menjadi anggota DPOD yaitu, Menteri Otda Ryaas Rasyid dan
Mentri Hukum / Perundang-undangan dan HAM, Yusril Ihza Mahendra. Dalam
rapat DPOD, akhirnya semua mentri memutuskan bahwan wilayah Banten layak
menjadi Provinsi (Mansur, 2001:242).
Pada tangga 18 Juli 2000,
para tokoh Banten melakukan kunjungan silaturahmi kepada Presiden
Abdurahman Wahid di Bina Graha. Beberapa tokoh Banten yang berbicara
kepada Presiden, antara lain Tb. H. Triyana Sjam'un dan Aly Yahya. Dalam
Kesempatan itu, Presiden menyatakan bahwa hasil sidang DPOD sudah
diterimanya dan sudah ditandatangani. Pada kesempatan itu pula Presiden
menyatakan bahwa leluhurnya, dari delapan generasi lalu, berasal dari
Tanara. Jadi ia masih memiliki hubungan kerabatan dengan Syekh Nawawi
Al-Bantani(Mansur, 2001:243-244).
Tim DPOD mengundang Bakor-PBB
untuk mendengarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim LJPI. Kajian
ini dilaksanakan atas kajian Tim DPOD. Pada tanggal 29 Agustus 2000,
Bakor-PBB diundang oleh Pansus DPR-RI untuk membicarakan
finalisasiPembentukan Provinsi Banten. dalam kesempatan itu, Ketua
Pansus, Amin Aryoso menyatakan dengan modal dari mana Banten akan bisan
berjalan sebagai Propinsi.dalam kesempatan itu, Ketuan Umum Bakor-PBB,
Tb. H. Tryana Sjam'un yang didampingi Ketua Bakor-PBB, H.Uwes Qorny,
menegaskan bahwa Banten telah siap menjadi sebuah Provinsi. Saat itu,
Tryana denganmenitikan air mata menjawab, bahwa untuk menjalankan
Provinsi yang baru itu, jika dianggap perlu, masyarakat Banten akan
iuran. (Wawancara dengan Tb.H. Tryana Sjam'un, tanggal 2 September
2003).
Pada tanggal 5 September 2000 Mendagri Suryadi Sudirdja,
bersama Tim DPOD, didampingi bakor-PBB mengadakan peninjauan kelapangan
yang dipusatkan di Pendopo Kabupaten Pandeglang. Dalam peninjauan ke
lapangan ini hadir antara lain Menotda Ryaas Rasyid, Menhankam, dan
Gubernur HR Nuriana. Kegiatan ini juga dimanfaatkan untuk mengekspos
hasil studi kelayakan yang dilakukan LJPI. Untuk meng-counter hasil
kajian LIPI yang agak kurang menguntungkan Bantenitu, Dodi Nandika dan
Dedi Barnawijaya, anggota Tim Pakar Bakor-PBB, menyampaikan hasil
lokakarya Bakor-PBB di Hotel Hilton tanggal 19-20 Agustus 2000,
Selanjutnya, Ketua Umum Bakor-PBB Tb. H. Tryana Sjam'un menyampaikan
pandangan akhir tentang PBB didepan Tim DPOD. Pertemuan di Pandeglang
ini menghasilkan satu keputusan bulat untuk menyetujui dan mendukung
dibentuknya Provinsi Banten.
Dengan demikian dari aspek politis,
ekonomis, sosio kultural, konsepsional dan yuridis konstitusional, RUU
tentang Pembentukan Provinsi Banten telah memenuhi semua persyaratan
sehingga siap untuk di sahkan menjadi UU yang akan dilakukan lewat
pembicaraan Tingkat IV/ pengambilan keputusan DPR pada akhir bulan
September 2000. Akan tetapi, karena pada akhir September 2000 Dewan
sedang menjalankan reses, maka disepakati Pembicaraan Tingkat IV
dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 2000, yang didahului dengan
Pembicaraan Tingkat III pada tanggal 3 Oktober 2000 dan hal ini telah
memperoleh persetujuan Badan Musyawarah pada tanggal 7 September 2000
(Mulyana, 2003:342-343).
Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 2000
diadakan rapat Pansus. Dalam rapat itu pemerintah telah melaporkan bahwa
persyaratan-persyaratan yang diperlukan telah terpenuhi sehingga
Pemerintah dapat menyetujui RUU tentang Pembentukan Provinsi Banten
telah dibaca dan disetujui untuk diteruskan ke Pembicaraan Tingkat IV ke
esokan harinya, yaitu tanggal 4 Oktober 2000, guna mendapatkan
persetujuan DPR yang selanjutnya dapat disampaikan kepada Pemerintah
untuk di undangkan.
Pada hari Rabu, 4 Oktober 2000, ribuan
masyarakat Banten, mulai dari ulama, mahasiswa, anggota LSM, seniman,
memadati halaman Gedung DPR RI hari itu mengadakan Rapat Paripurna yang
ditunggu-tunggu masyarakat Banten. Setelah mendengarkan pandangan akhir
dari fraksi-fraksi yang ada, maka rapat yang berlangsung ari pukul 9.00
berakhir pukul 13.30 dengan puncak acara pengesahan RUU Pembentukan
Provinsi Banten menjadi Undang-Undang no 23 tahun 2000 tentang
Pembentukan Provinsi Banten. Semua Fraksi DPR RI menyetujui secara bulat
pengesahan itu. Fraksi Golkar yang menjadi motor usulan inisiatif ini
mengharapkan agar strategi kebijakan pembangunan Banten harus meliputi
tiga hal, pertama, pemberdayaan masyarakat sebagai inti filosofi "daerah
membangun". Kedua, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengembangan potensi
sumber daya Banten dengan menerapkan model pembangunan yang bertumpu
pada peran serta masyarakat luas, keterbukaan, pemerintah yang bersih
dan bebas KKN, demokratis, responsif, jujur dan adil. Ketiga,
pembangunan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi dan
karakteristik wilayah, SDA, adat budaya, teknologi, norma agama dan
moral serta kemampunan manusia dan masyarakat.
Dalam kata
sambutannya Mendagri Suryadi Sudirdja mengatakan bahwa, Pemrosesan
pembentukan Provinsi Banten pada khsususnya dan juga pemekaran
daerah-daerah lain pada umumnya hanya dapat memberikan suatu pekajaran
yang baik bagi kita semua, dalam menghadapi kasus serupa pada masa
mendatang. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah sebagai berikut :
Pertama,
bahwa dalam hendak menetapakan suatu kebijakan, terlebih-lebih yang
akan menyangkut kepentingan publik, mestinya kita sepakat perlu adanya
mekanisme konsultasi dengan masyarakat, saran dan pendapatnya sehingga
apabila kebijakan itu diambil, masyarakat telah siap dan lebih dari itu
dapat memberikan dukungan.
Kedua, bahwa proses penetapan
kebijakan, dalam hal ini untuk menetapkan suatu Daerah Otonom baru,
proses pengkajian dan penelitian merupakana suatu keharusan untuk
dilakukan, dengan menggunakan " metodologi dan teknologi penelitian yang
benar dan tepat serta memperlihatkan persyaratan dan kriteria yang
berlaku sehingga kebijakan itu secara objektif dan rasional dapat
dipertanggung jawabkan yang pada akhirnya keputusan yang di ambil dapat
dilaksanakan dengan baik.
Ketiga, bahwa situasi dan kondisi untuk
menetapkan suatu keputusan perlu diperhatikan, jangan sampai dukungan
masyarakat cukup, kajian sudah benar, maksudnya baik, namun momentumnya
tidak tepat sehingga semuanya tidak dapat memenuhi sasaran yang
diinginkan. Seperti kasus pemekaran Irian Jaya, yang hingga kini masih
diperlukan pematangan kondisinya untuk dapat dilaksanakan secara penuh.
Keempat,
bahwa pemekaran suatu darah jangan sampai kontra produktif, yang justru
berbalik pada suatu saat akan terpaksa membuat keputusan lagi untuk
menggabungkan kembali ke daerah induk, bahkan untuk di hapuskan.
Kelima,
bahwa pengaturan dan penyusunan pemerintahan pada era desentralisasi
dan otonomi sekarang ini tidak semata-mata untuk mewujudakan tujuan
administratif saja, tetapi juga harus menciptakan peluang terbangunnya
sistem demokrasi yang sehat dan berdanyanya masyarakat sehingga mampu
berprakarsa dan berperan serta dalam kegiatan berbangsa dan bernegara.
Dalam
kaitannya dengan otonomi daerah, yang esensinya agar fungsi-fungsi
pemerintahan dapat terselenggara secara efisien, efektif dan produktif,
maka kewenangan pemerintahan daerah yang langsung atau setidak-tidaknya
yang paling dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, bila kebijakan
pemekaran daerah akan lebih efektif, tentunya lebih memprioritas pada
pemekakran Kabupaten daripada Propinsi.
Tidak dapat dibayangkan
betapa gembiranya masyarakat Banten ketika akhirnya Propinsi Banten yang
diperjuangkan itu lahir sudah. Para tokoh pejuang Banten berangkulan,
bersalaman sambil mengucapkan "Selamat", bahkan ada yang menitikkan air
mata keharuan. Ribuan rakyat Banten histeris sambil memekik "Allaahu
Akbar!", "Hidup Propinsi Banten!", "Hidup DPR!". Para ulama memanjatkan
doa, dan bersujud syukur di pelataran Gedung DPR RI yang megah itu.
Ketua Umum Bakor-PBB Tb. Tryana Sjam'un berkomentar: "Hidup Provinsi
Banten!" "Hidup DPR". Para ulama memanjatkan do'a, dan bersujud syukur
di pelataran Gedung DPR RI yang megah itu. Ketua Umum bakor-PBB Tb.
Tryana Sjam'un berkomentar: "Kita semua masyarakat banten patut
bersyukur kepada Allah SWT. karena hari ini, Rabu 4 Oktober 2000,
perjuangan kita yang sudah lama dicita-citakan diterima baik oleh wakil
rakyat di DPR RI dan ini berarti Provinsi Banten telah lahir dengan
selamat..." (Mansur, 2001:356, wawancara dengan Tb. Tryana Sjam'un).
Dengan
terbentuknya Provinsi Banten yang ke-30 di Indonesia itu Gubernur H.
Nuriana mengaku pasrah dengan persetujuan pemerintah dan DPR itu. Ia
mengatakan, "Saya mau aset daerah. Meskipun kita kehilangan PAD cukup
besar (Republika, 11 Oktober 2000, hal. 18).
Sumber :
Dikutip dari buku "Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Iman Taqwa, Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bakti 2001 - 2004 "